Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rano i Apo (Air dari Tuhan)


Udara pagi itu segar, kicau burung lembah memukau sunyi ditepi sungai Ranoiapo. sepintas ku lihat aliran sungai yang jernih membiaskan cahaya mentari pagi dan memantulkan beningnya alam yang berpadu dalam irama pagi.

Ku basuh muka ini dengan dinginnya air sungai, mengingatkanku pada masa kecilku yang riang bermain di sungai saat pagi dan sore. Ku hirup lagi hawa segarnya dan ku hening teduh sesaat menyatukan diri dengan alam.

Tampak di seberang barat, jembatan bersejarah di Minahasa, jembatan yang menjadi saksi bisu indahnya cinta anak mantra manusia. jembatan yang bercerita tentang kekuasaan asing (Belanda) di tanah Minahasa, jembatan yang menghubungkan jalur penting perdagangan di Pulau Sulawesi, jembatan yang menjadi simbol berdarah dua kampung.

Jembatan tersebut ada dua, yang satu adalah jembatan baru dengan konstruksi buatan Indonesia pada tahun 2002 dan yang lainnya adalah jembatan tua dengan konstruksi khas Korea yang dibangun pada masa pendudukan Belanda.

Disinilah tempat yang memaparkan keindahan alam Kota Amurang. Dari sisi jembatan tua itu, kita bisa melihat indahnya perpaduan alam tanah Minahasa. sejenak ku membayangkan sedang berdiri di sisi jembatan tua itu, besinya berkarat, dua dari tiang penyangganya telah tertancap turun akibat dari terpaan arus keras Sungai Ranoiapo pada Desember tahun 2000 silam.

Aspal jembatan tua itu hancur remuk dan diwarnai pecahan botol kaca minuman keras yang meramaikan saat malam di jembatan itu. jika ku pandang disebelah timur, berdiri kokoh gunung kebanggaan orang Minahasa, gunung Soputan. di bawahnya sungai Ranoiapo membelah dari kiri ke kanan memisahkan Kelurahan Buyungon dan Desa Rumoong Bawah.

Di sebelah Utara jembatan tua itu terlihat pemandangan lainnya, pemandangan barisan tiga gunung dari tanah Tombulu, gunung Lokon, Tatawiran, dan Empung yang terlihat agak jauh. Di sebelah barat terlihat dengan jelas Teluk Amurang, muara sungai Ranoiapo, pantai Tatapaan dan pulau Tatapaan serta pohon Lesad, di mana tempat yang menjadi pusat ritual orang Rumoong Bawah.

Pohon Lesad ini menjualang tinggi bagaikan penahan arus sungai dan ombak lautan atau sebagai pelindung wanua Rumoong Bawah dari bencana sungai dan laut. di sebelah selatan jembatan tua ini terpampang pemandangan bukit Manembo, perkebunan rakyat, dan perkampungan Rumoong Bawah raya.

Aku membasuh kakiku dengan air sejuk sungai ini, sembari mendengan tawa kecil bocah-bocah yang bergema dari kampung sebelah. air sungai terlihat agak keruh karena hujan semalam sehingga terjadi erosi pada tanah pegunungan di hulu sungai.

Aku mulai gelisah membayangkan masa depan sungai ini, aku mulai bertanya dalam sanubari, apakah ini pertanda tanah Minahasa sudah rusak? sungguh sedih hatiku ketika hal ini benar terjadi. Aku teringat lagi diskusiku dengan seorang teman yang berasal dari sebuah desa yang terletak di bagian hulu sungai, dimana desanya itu beserta dengan dua desa disekitarnya telah menyepakati masuknya perusahaan tambang emas milik asing yang telah membujuk masyarakat sekitar untuk menjual tanahnya dengan harga yang tinggi untuk dijadikan lokasi pertambangan ermas. 

Selain itu perusahaan itu juga menjanjikan beasiswa bagi anak-anak di beberapa kampung itu jika hendak kuliah. Dengan usaha pendekatan persuasif, para invenstor perusahaan tambang itu lakukan agar tanah itu menjadi hak mereka sepenuhnya.
Menurut data di media massa elektronik menyebutkan bahwa perusahaan dengan nama PT. Sumber Energi Jaya (SEJ) yang pemilik modalnya berasal dari China masih terkatung-katung dalam pengurusan izin di Kememterian Kehutanan RI.

Dampak buruk bagi warga tiga desa di Kecamatan Motoling Timur itu belum dirasakan masyarakat saat ini, tapi beberapa informasi mengatakan bahwa pusat inti emas yang dicari oleh PT. SEJ berlokasi di perkampungan, tepatnya berada di bawah bangunan gereja GMIM di desa Tokin. Dan ada juga informasi lain yang mengatakan bahwa aktivitas pertambangan telah dilakukan perusahaan tersebut.

Dalam teori ekonomi makro mengatakan bahwa jika investasi masuk ke Negara kita, maka dampaknya akan memberikan kontribusi pada Gross Domestic Product, menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah pajak Negara, terjadi transfer teknologi dari Negara lain, dan yang terpenting adalah dapat memajukan pembangunan.

Dengan asumsi diatas, peristiwa menyedihkan di sekitaran daerah aliran sungai (DAS) Ranoiapo adalah wajib terjadi dinegara berkembang seperti Indonesia. Saya telah beberapa kali mengunjungi desa-desa tersebut. Melihat kegiatan perekonomian sehari-hari.

Pendapatan penduduk terbesar adalah Kopra dan Cengkih, kemudian disusul dengan komoditas hasil aren seperti Cap Tikus dan Gula Merah, dan ada juga petani yang menghasilkan jagung dan tanaman lainnya. Sungguh ironi ketika terjadi pembebasan lahan rakyat oleh PT. SEJ untuk areal pertambangan emas.

Masyarakat yang mengutamakan pertanian harus rela menjual perkebunan mereka kepada kapitalis dan kehilangan aset utama, kehilangan tanah warisan leluhur, dan kehilangan tanah untuk diberikan kepada generasi selanjutnya.

Siang menjelang, lama sudah ku termenung di depan aliran sungai. Bayangan-bayangan mencekam melintas sesekali dalam pikiranku. Bayangan-bayangan ikan mati, bayangan sungai yang gersang, bayangan air yang tercemar, dan bayangan penyakit yang akan kita derita akibat pembuangan limbah Sianida dan Mercury akibat aktivitas pertambangan emas di DAS Ranoiapo ini.

Aku telah membaca sejumlah media menuliskan bahwa korban utama dari pencemaran itu adalah warga Amurang yang bermukim di sekitaran DAS dan muara sungai Ranoiapo. Semua bayangan menakutkan it uterus menghantuiku hingga saat ini.

Entah apa yang akan ku lakukan. Rakyat kecil dan lemah seperti kita hanya mampu bersuara dan dilupakan dengan mudah oleh para penguasa dan kapitalis. Andai aku kapitalis atau penguasa.

Ku tutup reuni ini dengan melemparkan tiga buah kerikil ke air sungai, dan mengucapkan salam bagi makhluk-makhluk hidup di air. Semoga kita umur panjang. Semoga kita selamat dari kutukan kelas sosial dan kerusakan alam ini. Doaku bersamamu, Rano I Apo.