Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Baru di Tempat Lama

Malam pertama setelah selesai perkenalan dalam kegiatan workshop menulis narasi (suatu pelatihan jurnalistik khusus para penulis dan jurnalis muda tanpa perusahaan media), aku dan beberapa orang teman menuju ke kamar penginapan. “di asrama Bukit UKIT” tempat yang aku tak tahu letaknya. Akhirnya dengan kondisi hujan tipis dan dingin sangat, kami tiba di penginapan yang ternyata tidak jauh dari lokasi pelaksanaan kegiatan.

Asramanya agak ramai dengan para mahasiswa UKIT yang tampaknya sedang sibuk online. Kira-kira ada empat orang di dalam, tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Kami masuk ke dalam. Dan penerangan saat itu di asrama agak suram karena lampu hanya bersumber dari kamar dan bagian belakang saja.

Di bagian depan dan ruang tengah hanya menerima asupan cahaya lampu dari empat ruang kamar yang saat itu semua pintunya terbuka. Aku, Jean, Happy, dan Eka menuju kamar bertuliskan “Kamar 2” untuk melihat kondisi kamar dan langsung menempatinya. Kamar itu memiliki satu buah meja belajar, satu kursi, dan satu ranjang susun dengan dua kasur busa yang sepertinya masih baru ditutupi dengan sprei coklat yang nantinya menjadi selimut kami.

Lampu kamar itu berwarna kuning karena memang menggunakan lampu pijar yang kurang terang sehingga akupun tak mampu menebak berapa watt lampu tersebut. Aku hanya terpaku pada beberapa tulisan liar yang memenuhi kayu ranjang susun. Setelah kuperhatikan ternyata tulisan-tulisan liar itu adalah nama para mahasiswa yang mungkin pernah tidur diranjang susun ini. Kuperhatikan lagi tulisan-tulisan tadi, hampir semuanya adalah nama-nama perempuan.

Lampu pijar kuning itu membuat aku tak biasa dengan cahayanya yang sedikit suram. Namun kupikir, nikmati saja. Semua teman-temanku berpindah ke kamar sebelah dan aku tak menghiraukannya. Kuambil kursi yang terletak di pojok kanan kamar dan duduk menghadap meja dan dinding. Ku ambil segelas air mineral dari ranselku dan minum seperti sudah seminggu tidak minum air. Dan aku mulai berbaring pada kasur busa empuk itu. Dengan bantal yang sepertinya berbunyi seperti plastik dari dalam sarung bantal itu.

Aku tidur dengan menghadap pintu terbuka sehingga pandanganku langsung tertuju ke bagian ruangan tengah yang ssudah mulai sunyi karena mereka yang semula duduk online, berpindah masuk ke kamar sebelah untuk menggelar pertandingan sepak bola di komputer milik seorang mahasiswa penghuni kamar itu. Aku baru sadar, setelah melihat konstruksi bangunan asrama ini dari kamar.

Ku lihat pintu kamar ini, sepertinya terbuat dari kayu kualitas tinggi (entah apa jenis kayunya) yang kuperkirakan sama dengan jenis kayu yang digunakan pada pintu rumahku. Dan kulihat lagi konstruksi bangunan ini dengan seksama.
Bentuk arsitekturnya diperkirakan merupakan bentuk kontemporer yang populer sekitar tahun Sembilan puluhan namun aku tak tahu pasti kapan asrama ini dibangun. Disisi kiri kamar ada lemari dinding tak berpintu. Bentuknya lumayan besar, kira-kira cukup untuk menampung perlengkapan dua orang mahasiswa penghuni kamar. Lemari dinding itu sepertinya masih kuat jika diperhatikan kondisinya.

Aku mulai agak mengantuk, namun aku hanya terkagum pada konstruksi bangunan ini dan mulai penasaran. “Kapan asrama ini dibangun?” pikirku sepanjang malam. Namun aku mulai berpikir dengan melihat lagi kondisi bangunan.

Lantai yang terbuat dari ubin semen, dinding dengan cat putih, kontur permukaannya agak kasar yang dilapisi cat putih. Jendela kamar yang agak besar bergaya jendela tahun delapan puluhan. Kuperhatihan lagi jendelanya, ternyata bahan kayu jendela ini sama dengan bahan kayu pintunya, warna dan jenis catnya pun sama.

Karena aku dalam posisi tidur, maka terlihatlah plafon kamar itu yang terbuat dari tripleks yang sepertinya sangat kuat, dirancang dengan (masih) model delapan puluhan, ber-cat putih seperti dinding, dan tampaknya tripleks plafon itu dibeberapa bagian sudah mulai rusak karena pernah kena cairan sehingga membuat bagian itu berubah warna menjadi kecoklatan.

Aku tidak mengerti dengan dunia arsitektur, namun bangunan asrama ini membuatku terpana semalam, bahkan hingga aku bangun pagi pun belum hilang rasa penasaranku. Dan sepertinya bangunan asrama ini mengingatkanku pada rumah tinggal keluarga kami dulu sewaktu kecil.