Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Identitas Budaya dalam Ingatan Kaum Muda

Sudut kota Tondano ini sangat ramai. Bahkan saking ramainya, masyarakat berpendapat harus ada pelebaran jalan. Namun pelebaran jalan tidak memungkinkan karena hampir seluruh bangunan di pesisir jalan ini sudah mengapit badan jalan. 

Kelurahan Tataaran Dua memang krisis arus transportasi. Keramaian di tempat ini sangat akut sejak pagi sampai malam. Boleh dikatakan sudut kota ini lebih ramai daripada pusat kota Tondano.
Tempat ini dimukimi oleh ribuan mahasiswa. Mereka menggunakan jasa rumah kos untuk tinggal beberapa tahun (bahkan ada yang sudah menetap) dengan tujuan untuk menimba ilmu di Universitas Negeri Manado. Tataaran adalah pilihan tepat bagi para mahasiswa untuk tinggal karena sangat dekat dengan kampus Unima.
Namun bukan soal Tataaran yang ramai dan sarat kemacetan yang menjadi perhatian utama saya. Tapi para mahasiswa yang tinggal di Tataaran juga sekeliling kampus Unima. Istilah mahasiswa yang hakikatnya sama saja dengan istilah pelajar. 

Mahasiswa belajar dan pemerintah menyediakan fasilitas belajar berupa perguruan tinggi. Perguruan tinggi dibuat oleh pemerintah dengan tujuan utama untuk merubah peradaban dan kebudayaan manusia menjadi lebih maju dan lebih beradab.
Kebudayaan manusia secara awam dapat dikatakan sebagai hasil pikir manusia yang digunakan untuk mengelola alam dan membawa manusia ke jenjang peradaban yang lebih maju. Kebudayaan itu dikembangkan mulai dari sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi. 
Saya masih ingat dulu itu ada jargon yang mengatakan bahwa “Sekolah sebagai pusat kebudayaan” itu pada masa akhir orde baru. Tulisan itu dipajang diseluruh sekolah di Indonesia.
Kaum muda yang mengaku sebagai mahasiswa secara langsung bisa disebut sebagai seorang budayawan. Itu adalah implikasi dari dibentuknya sebuah sistem pendidikan oleh pemerintah. Mahasiswa bertugas untuk belajar sebanyak mungkin ilmu pengetahuan, melakukan penelitian yang berbasis pada penerapan teori dan menerapkannya sebagai pengabdian kepada masyarakat.
Saya ingat ketika sedang bertugas untuk membawakan tarian perang Minahasa, seorang mahasiswa mendekat dan berkata “Eh, lucu kang depe baju?”. Dalam hati saya mengatakan mungkin ini hasil dari bentukan institut pendidikan terhadap budaya kaum muda. Lebih kaget lagi ketika saya bertanya kepada mahasiswa tersebut “Kawan, asal mana?” Dia spontan menjawab “orang Minsel, mar so lama tinggal di Manado.”
Rasa kaget minta ampun mendengar jawabannya itu. Seorang kaum muda asal Minahasa Selatan yang lama tinggal di Manado rupanya tidak tahu banyak tentang budayanya sendiri. Menjadi pertanyaan lagi, apa yang kita tahu dan mengerti tentang budaya kita sendiri setelah menjadi mahasiswa? Tentu bagi saya tidak bisa men-generalisasikan perspektif seseorang menjadi perspektif banyak orang. Tapi ini yang unik untuk dibahas.
Seperti sebelumnya saya mengatakan bahwa kaum muda sebagai mahasiswa secara langsung bisa disebut sebagai seorang budayawan. Ini adalah harapan ketika sistem pendidikan yang dibentuk bisa berjalan sesuai harapannya. Kaum muda sebagai mahasiswa ternyata tidak banyak yang mengerti tentang budaya. Jadi pertanyaan lagi, budaya seperti apa yang diajarkan oleh sistem pendidikan kita? Mari kita cari tahu.
Sejak sekolah dasar kita diajarkan mengenai baca dan tulis, berhitung, dan banyak pengetahuan umum. Secara langsung otak kita menerima apa saja yang diajarkan karena dalam masyarakat, sekolah sangat dipercaya dalam mengajarkan apa saja dan itu baik bagi masyarakat kita. Sekolah menjadi standar kebenaran intelektual dan moral. Ada juga sekolah yang menitikberatkan keberanan spiritual sebagai dasar dari masyarakat.
Masuk pada taraf pendidikan menengah, kita mulai diperkenalkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dunia. Dalam pelajaran itu kita biasanya dipaksa untuk hafal rumus-rumus, nama-nama ahli, tahun dan peristiwa sejarah, bahkan diperhadapkan dengan harus ada pilihan untuk menentukan fokus pelajaran. Dan fokus itu mulai kita dapatkan ditingkat menengah atas.
Perhatiakan bagaimana sistem pendidikan membentuk ingatan budaya sejak kita kanak-kanak. Perhatikan juga pelajaran apa yang harus menjadi fokus kita. Kini dengan sadar dapat dikatakan bahwa sekolah mengajarkan budaya luar, bukan budaya kita. 

Sehingga ingatan kaum muda menjadi ingatan terhadap budaya negeri luar. Sangat sedikit pelajaran sekolah yang mengajarkan budaya kita. Kalaupun sekolah mengajarkan budaya kita, itupun hanya sekadar untuk dilombakan, atau dipertunjukan belaka. 

Tidak ada sistem pendidikan kita yang berbasis kelokalan. Itulah sebabnya ingatan kaum muda tentang budaya adalah ingatan yang dibentuk dari budaya dan identitas dari budaya asing. Maka tak heran jika mahasiswa tadi mengatakan bahwa pakaian adat atau pakaian perang Minahasa sebagai sesuatu yang lucu dan perlu ditertawakan.
Dijenjang pendidikan tinggi, kaum muda diharapkan bisa kritis terhadap persoalan ini. Ini menyangkut masalah ingatan kita terhadap budaya kita. Ini menyangkut identitas “Siapa Aku” yang harus segera dibangkitkan. Kritis dalam arti bahwa sudah saatnya kita sadar bahwa ingatan kita tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan adalah produk asing yang ingin mencabut ingatan asli identitas kita. Begitulah bangsa asing sudah menjajah kita.
Kita belajar kebudayaan asing bukan untuk kita banggakan, namun untuk kita kaji. Dan kajian utama kaum muda terhadap kebudayaan asing adalah mengapa kita dipaksa untuk belajar kebudayaan asing.
Pentingnya ingatan budaya bagi kaum muda adalah agar kaum muda bisa mengerti siapa dirinya sebenarnya. Identitas budaya lebih penting daripada menguasai ratusan rumus matematika. Identitas adalah jati diri kita sebagai kaum muda.
Kembali ke Tataaran. Saya sudah tinggal lebih dari lima tahun di sudut kota Tondano ini. Namun tidak banyak yang berubah. Ribuan mahasiswa yang tinggal di Tataaran tidak banyak berpatisipasi terhadap perubahan identitas, terlebih identitas budaya asli.