Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Publikasi Jurnal Sebagai Syarat Kelulusan

Awal tahun 2012 seluruh perguruan tinggi di Indonesia digemparkan dengan suatu terobosan baru. Suatu kebijakan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) tentang syarat kelulusan bagi program S1, S2, dan S3 melalui suatu surat edaran Dikti nomor 152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 yang ditujukan kepada pimpinan perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh Indonesia. 

Surat itu berisi kebijakan untuk publikasi karya ilmiah dalam jurnal sebagai syarat kelulusan. Surat tersebut dalam pembukaannya mengatakan bahwa “Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.” Ada indikasi bahwa kebijakan pemerintah melalui Dirjen Dikti ini dipicu karena ingin lebih maju dari negara tetangga Malaysia dalam bidang pendidikan. 

Bagaimana fakta tentang hal tersebut? Apakah benar Malaysia jauh diatas Indonesia dalam hal publikasi karya ilmiah?

Dalam situs Kompasiana, A.A. Hidayat menuliskan bahwa “Melalui situs Scientific Journal Rankings (SJR), Indonesia berada pada peringkat 64, sedangkan Malaysia 43. Sebagai perbandingan, Singapura pada peringkat 32 dan Thailand 42. Namun Indonesia masih relatif lebih baik dari Philipina yang berada pada peringkat 70.”

SJR adalah situs internasional untuk mengukur peringkat jurnal perguruan tinggi di tiap negara. Data dalam SJR dipercaya akurat dan terpercaya oleh para akademisi di seluruh dunia. Dengan berada diperingkat 64, Indonesia tercatat hanya ada 5 jurnal yang masuk peringkat dunia dari 18.854 yang terdaftar dari seluruh dunia.

Dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki 43 jurnal. Inilah yang memicu ditetapkannya kebijakan Dirjen Dikti bagi seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia untuk melaksanakan publikasi jurnal ilmiah secara online.
Selain hal tersebut, pemicu dari ditetapkannya keputusan tersebut adalah kurangnya sumber daya manusia khususnya sarjana di Indonesia yang bisa maupun biasa menulis karya ilmiah. Dalam situs kompas.com, Rektor Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, Jawa Timur, Prof DR H Imam Suprayogo menyatakan bahwa “saat ini kualitas pemikiran atau ide mahasiswa memang belum mumpuni, apalagi dalam hal tulis menulis. 

Tidak semua lulusan sarjana bisa menulis, banyak sarjana susah bicara apalagi menulis.” Ini adalah suatu kendala besar bagi perkembangan pendidikan di Indonesia yang merupakan tantangan semua perguruan tinggi. Menulis adalah suatu keterampilan tertinggi dari tingkatan keterampilan bahasa. Bahkan dengan tulisan banyak para ahli yang mampu mengubah dunia. 

Budaya menulis memang sangat kurang berkembang di Indonesia dewasa ini. Sejak dulu bangsa-bangsa di Nusantara ini lebih mengenal tradisi lisan (berbicara) daripada tulisan. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam lingkaran sejarah diturunkan kepada anak cucu dengan menceritakan kembali periwtiwa itu. 

Namun bukan berarti nenek moyang kita tidak mengenal tulisan. Banyak aksara kuno ditemukan di Nusantara. Di Minahasa sendiri ditemukan benda cagar budaya berupa prasasti-prasasti kuno berisi tanda-tanda (aksara purba) yang menandakan adanya suatu peradaban paling awal di tanah Minahasa.
Dari kebiasaan sehari-hari para mahasiswa khususnya di Unima, sangat kurang mahasiswa yang menaruh minat pada kegiatan membaca apalagi menulis. Mahasiswa dalam perkuliahannya kurang didorong untuk banyak membaca. Namun sebenarnya tanpa harus didorong seharusnya mahasiswa tahu kalau membaca itu adalah tugasnya. 

Bagaimana mungkin seseorang yang tidak ada minat membaca bisa menghasilkan suatu tulisan. Apalagi mengharapkan dari mereka sebuah tulisan karya ilmiah yang berkualitas. Inilah salah satu pemicu kurangnya kualitas karya ilmiah di Indonesia jika dilihat dari sudut mahasiswa Unima.
Kebijakan Dirjen Dikti tersebut akan diberlakukan secara efektif mulai tahun akademik baru pada Agustus 2012. Semua calon sarjana yang akan menyelesaikan studi terhitung 1 Agustus 2012 diwajibkan untuk publikasi karya ilmiah di jurnal online. Ini tandanya suatu peradaban akademik baru (meski sudah lama diterapkan di pernguruan tinggi lain) bagi mahasiswa Unima. 
Siap maupun tidak, mahasiswa Unima harus menghadapi kenyataan bahwa kesadaran terhadap aktivitas membaca dan menulis itu sangat penting baginya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa mendapat predikat sarjana sedangkan membaca saja malas dan tidak pernah menghasilkan suatu karya ilmiah buatan sendiri.
Ternyata problema tentang kedua hal tersebut masih kurang untuk menjadikan alasan publikasi karya ilmiah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ternyata memiliki alasan tambahan untuk itu. Kepada situs Kompas.com, menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mohammad Nuh mengatakan alasan lain dari kebijakan Dirjen Dikti tersebut. 

Nuh mengungkapkan tiga alasan mengapa penting publikasi karya ilmiah. Pertama yaitu untuk menekan plagiarisme, kedua yaitu untuk pengembangan keilmuan, dan ketiga yaitu untuk mempercepat pengembangan keilmuan tersebut. Alasan tersebut kelihatannya lebih kepada kualitas keilmuan di Indonesia. 

Sedangkan alasan plagiarisme dinilai tepat untuk fenomena penulisan karya ilmiah. Pertimbangannya adalah jika karya ilmiah itu tidak dipublikasikan, tidak akan ada yang tahu kalau sampai karya ilmiah itu dijiplak oleh mahasiswa lain. Fenomena ini banyak terjadi diperguruan tinggi. 

Banyak mahasiswa di Indonesia melakukan plagiarisasi karya tulis melalui jasa jual beli karya ilmiah (skripsi, tesis, makalah dan lainnya) secara online maupun dengan cara mencari karya tulis lama dan kemudian ditulis kembali dengan mengubah lokasi penelitian saja. Inilah ironi mahasiswa Indonesia. Mungkin dengan publikasi jurnal ini bisa menekan kegiatan plagiarisme oleh mahasiswa. Dengan harapan mahasiswa bisa menghasilkan karya ilmiah yang original.
Namun secara tegas Nuh mengatakan bahwa surat edaran Dirjen Dikti tersebut hanya sebagai dorongan atau motivasi bagi perguruan tinggi agar lebih giat lagi mengembangkan keilmuan. Nuh mengatakan bahwa surat edaran Dikti tersebut memang tidak ada kekuatan hukum, tapi sebagai dorongan kearah tersebut. 

Dari sumber yang sama ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTN) Idrus Paturusi menjelaskan bahwa MRPTN dan Dirjen Dikti telah sepakat surat edaran tersebut hanya sebagai dorongan. Dan karena hanya sebagai dorongan maka tidak ada sanksi bagi mahasiswa yang tidak menjalankannya. Secara langsung pernyataan tersebut berarti mahasiswa bisa lulus walau karya ilmiahnya gagal diterbitkan dalam jurnal.
Apa mungkin ini karena surat edaran tersebut mengundang pro dan kontra dan berbagai perguruan tinggi? Dirjen Dikti seakan mengeluarkan statement yang berbeda dengan pernyataan dalam surat edaran tersebut bahwa “Sehubungan dengan itu, terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut:…”. 

Kalimat tersebut jelas menyatakan suatu perintah atau keharusan bagi seluruh perguruan tinggi untuk melaksanakan hal yang dimaksud oleh surat edaran tersebut.
Universitas Negeri Manado sendiri sudah mulai mendorong setiap program studi untuk melaksanakan surat edaran tersebut. Pembantu Rektor I Bidang Akademik Unima Prof. Dr. Harol Lumapow, MPd. mengungkapkan bahwa sudah ada dorongan bagi setiap program studi di Unima untuk menyediakan fasilitas bagi mahasiswa untuk publikasi karya ilmiah.

“Sudah ada dorongan bagi setiap program studi untuk menyediakan fasilitas bagi mahasiswa untuk publikasi karya ilmiah. Karena persoalan di Unima hanyalah fasilitasnya saja yang kurang bahkan beberapa program studi belum ada fasilitas jurnal.”
Saat ini di Unima tersedia jurnal online untuk sementara hanya ada dua fakultas yaitu Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). FIS meluncurkan jurnal online (E-Jurnal) melalui alamat www.fiisunima.wordpress.com, sedangkan FMIPA meluncurkan e-jurnal melalui alamat www.fmipaunima.webnode.com

Kedua e-jurnal ini merupakan tanggapan dari surat edaran Dirjen Dikti yang menghimbau harus publikasi karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Kedua situs tersebut ditaut pada situs web resmi Unima www.unima.ac.id. Belum terlihat ada fakultas lain menyusul sampai tulisan ini diterbitkan. Tapi berdasarkan statement Pembantu Rektor I Unima, fakultas lain mungkin dalam persiapan untuk meyediakan fasilitas e-jurnal bagi publikasi karya ilmiah mahasiswa.
Semoga kualitas lulusan Unima akan lebih berkualitas dengan tanggapan yang baik dari pihak Universitas atas surat edaran Dirjen Dikti tersebut. Kita mahasiswa Unima, mendukung atau menolak, atau bahkan tidak menghiraukan?