Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal Usul Kata "Amurang"

Bagi sebagian besar nama tempat di daerah adat Minahasa menggunakan awalan "To-" atau "Tou-" yang berarti "orang" atau "bangsa", seperti Tomohon, Tondano, Tombulu, Tombatu, Tonsewer, Tou Ure, Tondei, Tombasian, dan lainnya. Namun ada juga tempat-tempat lain yang jika dipelajari asal-usul namanya itu diambil dari ciri geografisnya, seperti Malola yang diambil dari kata "Malolang" yang berarti "bukit bersusun" dan juga Rerewokan yang diambil dari kata "Rewok" karena lokasi tersebut banyak bertumbuh pohon Rewok (sejenis tanaman keras yang tumbuh di pinggir aliran air).
Asal usul nama "Amurang" sendiri masih diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa kata Amurang diambil dari kata "Amoer" oleh bangsa Portugis dari nama sungai di negara mereka. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa kata "Amurang" diambil dari kata "Amore" dari bahasa Latin (Spanyol) yang berarti "Cinta". Kedua versi ini memiliki bukti sejarah yang cukup kuat.

Versi pertama (sebut saja versi Portugis) yang mengatakan bahwa 'Amurang ' diambil dari nama sungai di Portugis yaitu sungai 'Amoer' memiliki jejak sejarah sejak abad XVII saat bangsa Portugis mendirikan benteng di pantai Amurang. Sedangkan versi kedua (sebut saja versi Spanyol) juga memiliki bukti yang sama kuatnya dengan versi Portugis, yaitu di Amurang terdapat pantai yang oleh masyarakat setempat diberi nama pantai Alar, yang terkenal dengan nuansa romantis penuh cinta.

Lokasi pantai Alar sendiri merupakan bekas pemukiman orang-orang Pondang dan Ranomea jaman purba. Nuansa mistis bercampur romantis inilah yang mungkin membuat para Reindang Wuuk (Si rambut merah - Sebutan orang Minahasa pada orang Spanyol) menamakan tempat ini dengan "Capa d'Amore" yang berarti "Tanjung Cinta".

Amurang Tahun 1924 (Sumber: Tropenmusem Netherland)
Namun terlepas dari kedua versi asing tersebut, Amurang memiliki nama sebagai wilayah adat Minahasa yaitu "Tombasian" dengan dipimpin oleh seorang kepala Walak. Walak Tombasian meliputi wilayah Amurang dan Tenga. Walak Tombasian sempat diduduki oleh kerajaan Bolaang Mongondow pada masa pemerintahan Raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang). Seusai diangkat dan dilantik menjadi raja, Loloda Mokoagow yang terpesona dengan keindahan alam serta gadis-gadis Minahasa, kemudian melakukan invasi sampai ke daerah Manado.

Setelah berhasil menduduki sebagian tanah Minahasa (Amurang, Tumpaan, Tareran, Tanawangko, Tateli, dan Manado) raja Loloda Mokoagow memindahkan ibukota pusat pemerintahan kerajaan Bolaang Mongondow ke Amurang, kemudian menikahi seorang wanita asal Rumoong Bawah, Amurang. Keturunan Loloda Mokoagow dan perempuan Minahasa inilah yang kemudian menggantikannya sebagai raja Bolaang Mongondow dengan menggunakan nama Manopo.

Batu Binarisan di Uwuran, Amurang.
Batu tempat perjanjian antara Walak Tombasian dengan Raja Loloda Mokoagow.
(Sumber: Koleksi Foto Charlie Samola)
Setelah mempelajari tata bahasa Minahasa Tontemboan, ada yang unik kita bisa dapatkan. Dalam bahasa Tontemboan, penyebutan atau penunjukan suatu tempat menggunakan awal "Ang" namun pada beberapa kasus, awalan ini sering membaur dengan kata yang mengikutinya. Contohnya, "Di Rumah" dalam bahasa Tontemoan menjadi "Ambale" penggabungan dari awalan "Ang" dan "Wale". Ada juga contoh lain seperti; di kampung = Andoong (Roong = Kampung), di depan = Amange (Mange = Depan), di Manado = Ambenang (Wenang = Manado).

Maka bisa disimpulkan bahwa kata "Amurang" itu berasal dari bahasa Tontemboan yaitu untuk menyebutkan nama kampung Uwuran. Orang-orang Tontemboan yang ingin turun gunung untuk berdagang akan ke Uwuran (sekarang pasar Amurang) dan jika ada orang lain yang bertanya "Mo pigi di mana ngana?" atau dalam bahasa Tontemboan "Mange ambisa 'co?" maka pedagang itu akan menjawab "Amuran" dan kemudian menjadi kata "Amurang".

Belum diketahui pasti kapan dimulainya penggunaan kata "Amurang", tapi jika membaca tulisan-tulisan dari daerah Bolaang Mongondow, nama tempat ini sudah menggunakan nama "Amurang". Itu berarti sebelum kekuasaan Raja Loloda Mokoagow, Walak Tombasian sudah memakai kata "Amurang" untuk nama lokasi perdagangan di hilir sungai Ranoiapo ini. Ada kemungkinan kata "Amurang" populer sejak Belanda mulai berkuasa di Minahasa. Sejak zaman Belanda, mulai dikenal Distrik Amurang yang dipimpin oleh Ukung Majoor (Hukum Mayor), tidak lagi dipimpin oleh kepala Walak.

3 komentar untuk "Asal Usul Kata "Amurang""

  1. Memang Nama Amurang masih perlu diteliti lebih lajut. Namun dr beberapa sumber yg saya baca khususnya di zaman pendudukan Spanyol sesudah Portugis dikalahkan di Minahasa, Spanyol menggunakan benteng Portugis di Uwuran (bukan kata Amoerang) sebagai benteng terakhir dlm mempertahankan kedudukannya di tanah Minahasa setelah `terusir oleh VOC di Tumpahan Wenang (Manado sekarang). Namun setelah pecah perang Tasikela antara Minahasa & Spanyol yg puncajknya terjdi di Matani & Uwuran, Spanyol dibantu oleh pasukan Mongondow dapat dikalahkan oleh para waraney yaitu pasukan gabungan dari Tounpakewa, Tombulu serta Tombatu & Pasan-Ratahan dengan murebut benteng Uwuran ini. Dan Ratu Oki asal Toundanouw (Tonsawang) menduduki benteng ini dan kemudian ia menikah dengan Raja Lolada Mokoagow II (Datu Binangkang). Jadi bagi saya nama Amurang berasal dari kata Uwuran dengan tambahan awalan serta dialek Tountemboan.

    BalasHapus
  2. Amurang.. panggilan Laki-laki di Amurang adalah Amang yang kebanyakan berprofesi sebagai Nelayan dan sebelum Nama Uwuran ada terlebih dulu ada yakni Sindulang..

    Akhiran ANG itu identik dengan Dialek Bahasa dan Nama Tempat dimana Penduduknya berprofesi sebagai Nelayan seperti di BenaNG Manado, SindulaNG Manado, MalalayaNG Manado, BelaNG, LikupaNG dan BituNG.

    Jikalau panggilan Laki-laki di Amurang adalah Amang maka Feminimnya adalah Awu sehingga menurut saya, Nama AmuraNG dibentuk dari kata dasar AmaNG bahkan Uwuran dibentuk dari kata dasar Awu.

    Dalam Literatur Sejarah tertulis, Seorang Zendeling atau Penginjil yang pernah bertugas di Tanawangko yaitu Nicolas Graafland pada Tahun 1867 dia menggambarkan bahwa Penduduk disana terdiri dari 8 Orang Belanda, 777 Orang Borgo Kristen, 97 Orang Borgo Islam, 156 Orang Cina dan 57 Orang Negeri dari Suku/Etnis Tontemboan., dan dari data tersebut, Orang Borgo adalah Mayoritas disana dan tentunya keberadaan mereka sudah ada sejak zaman Portugis dan Spanyol yang memang pada mulanya datang mendarat di SINDULANG Manado dan kawin-mawin dengan penduduk Pribumi Manado dan menjadikan mereka sebagai Pasukan Penjaga Pertahanan Benteng yang dalam bahasa Belanda disebut Schuterij.

    Pada zaman Belanda, sudah sangat jelas bahwa Kampung atau Pemukiman Penduduk paling awal di AMURANG adalah SINDULANG sejak Tahun 1600 an yang merupakan pemukiman Orang BORGO., oleh sebab itu STAD AMURANG (STAD = KOTA), dalam hal Penataan Pemerintahan STAD AMURANG dilaksanakan oleh Orang-orang BORGO yang Pemimpinnya disebut “WIJCKMEESTER = WALIKOTA” sampai Tahun 1911 yang wilayahnya saat ini dikenal dengan sebutan LETER A (Uwuran I dan II) serta LETER B (Kelurahan Ranoiapo), sedangkan Pemukiman Orang Cina atau Kampung Cina terletak di Kelurahan Buyungan.

    TON TEMBOAN.. dibentuk dari kata TON = Orang dan TEMBO = Dari Atas/Ketinggian/Gunung.. AN adalah Imbuhan untuk menyatakan Orang dari Atas/Ketinggian/Gunung yang Turun, sedangkan dalam Bahasa Sangihe, TEMBO itu artinya KEPALA (Bagian Badan/Tubuh paling Atas dari Manusia)

    Adapun Penduduk Pribumi dari Pedalaman Minahasa Tengah yaitu Suku/Etnis TONTEMBOAN mulai turun dan merambah ke Pesisir Pantai di Teluk Amurang sekitar pertengahan Tahun 1700 an dan mendirikan Pemukiman atau Kampung yakni di TOMBASIAN ATAS yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Kawangkoan Barat, dan dari situ lalu mereka berkembang keluar dan mendirikan Negeri-negeri Baru seperti RITEI, MALIKU, PONDANG, MALENOS, RANOMEA dan LAPONA yang semuanya berada di Kecamatan Amurang Timur saat ini.

    BalasHapus

Apa saja isi komentar anda sangat berarti bagi penulis... ^_^